Kualitas Terbaik di Dunia, Kelor Indonesia Tembus Pasar Dunia Rp 250.000/Kg, Jepang Minta 40 Ton Kelor Per Minggu
Minggu, 15 Desember 2019
Edit
David Clifton jauh-jauh datang dari Vietnam untuk menetap
sementara di kediaman Ir. Ai Dudi
Krisnadi di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Di sana pemilik perusahaan perdagangan asal Kanada itu turut memanen kelor di kebun.
Ia juga mengamati tahap demi tahap
pengolahan kelor di Pusat Pembelajaran Moringa Organik Indonesia milik Dudi.
Ia dan Dudi tengah mempersiapkan kerjasama produksi aneka olahan Moringa oleifera untuk memenuhi pasar negara-negara di Benua Eropa dan Amerika utara.
Menurut David, ia memilih bekerjasama dengan Dudi karena
serbuk kelor yang dihasilkannya
berkualitas lebih baik dibandingkan produk dari
negara-negara sentra produksi kelor lain di dunia. Salah satunya dalam hal kandungan nutrisi.
"Salah satu buyer dari Jerman menguji kandungan nutrisi kelor produksi Dudi dan ternyata
kandungan nutrisi kelor produksi Dudi
paling baik," ujar David.
Menurut Dudi kandungan nutrisi adalah aspek paling penting
yang menjadi indikator kualitas kelor.
Pasalnya, lembaga internasional seperti
Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO)
menggadang-gadang moringa---sebutan kelor di dunia internasional---sebagai
super food karena kandungan nutrisi kelor yang luar biasa.
Menurut Dudi kandungan
potasium atau kalium serbuk kelor 15 kali lebih tinggi daripada
pisang. Kalium salah satu unsur penting
untuk membantu menjaga kesehatan
jantung.
Keunggulan lain
kandungan vitamin A sebuk kelor 10 kali lebih
tinggi daripada wortel, kandungan zat besi 25 kali lebih tinggi
daripada bayam, vitamin C kali dari
jeruk, kalsium 17 kali lebih tinggi
daripada kalsium susu, dan protein 9 kali lebih tinggi daripada yoghurt.
Lantaran kandungan nutrisinya yang tinggi, beberapa
negara memanfaatkan kelor untuk
mengatasi masyarakat yang kekurangan gizi.
David menuturkan moringa juga menjadi salah satu sumber
nutrisi masyarakat di Eropa yang peduli
hidup sehat. "Masyarakat di sana
mengolah serbuk moringa menjadi salah satu bahan smoothie,"
tambah David.
Dudi mengolah daun kelor dengan prosedur ketat untuk menjaga kandungan nutrisinya. "Hasil panen harus
segera diolah maksimal 4 jam setelah
panen," ujar Dudi. Setelah merorot daun hasil panen, para karyawan bergegas mencuci dan mengeringkan
daun kelor.
Proses pengeringan
berlangsung dalam ruangan. Dudi mengatur suhu di ruang pengeringan maksimal 35oC dan kelembapan 46%
agar tidak merusak kandungan nutrisi. Daun kelor kering setelah 3 hari
pengeringan.
Selanjutnya Dudi menggiling daun kering menjadi serbuk
hingga tingkat kehalusan 200 mesh. Daun
kelor serbuk itu menjadi bahan baku teh daun
kelor celup.
Pria 55 tahun itu juga mengolah daun kelor menjadi
tepung yang lebih halus, yakni hingga
berukuran 500 mesh.
"Tepung daun kelor
seukuran debu itu dapat digunakan sebagai bahan campuran produk
apapun baik itu makanan, kapsul, atau
kosmetik," ujar Dudi.
Untuk menghasilkan
tepung sehalus itu caranya dengan mengisap "debu" saat proses
penepungan daun kelor kering.
Dudi menjual sebagian besar produk tepung dan olahan kelor
ke mancanegara, seperti Malaysia,
Singapura, Vietnam, Myanmar, Korea
Selatan, dan negara-negara lain di Benua Afrika, Eropa, serta Amerika.
"Pasar Indonesia malah sedikit karena di masyarakat
kita beredar mitos kalau kelor
berhubungan dunia mistis," ujar alumnus Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa
Barat, itu.
Untuk pasar lokal,
Dudi memasarkan aneka produk olahan kelor melalui 71 gerai yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam sebulan Dudi mampu menjual rata-rata 2 ton tepung daun
kelor dengan harga Rp250.000 per kg atau
total omzet rata-rata Rp500 juta per
bulan. Tepung daun kelor itu menjadi bahan baku berbagai olahan,
seperti teh, aneka jenis makanan, kapsul
herbal, dan aneka produk kosmetik.
Dudi memperoleh pasokan bahan baku kelor dari pekebun mitra,
salah satunya Felix Bram Samora. Pemuda
asal Blora itu mengebunkan kelor secara
organik di lahan 3 hektar sejak 2014.
Lokasi kebun
bersebelahan dengan area pengolahan
kelor milik Dudi.
"Idealnya lokasi kebun dekat dengan lokasi pengolahan karena hasil panen
daun kelor harus segera diolah sebelum 4
jam," tutur Dudi.
Dari kebun seluas itu Bram memanen rata-rata 500 kg daun
kelor segar setiap dua hari. Hasil panen
itu ia jual ke Dudi, lalu dikeringkan.
Dari jumlah hasil panen itu menghasilkan 50 kg daun kelor
kering atau rendemen 10%. "Setiap
bulan saya harus membayar ke Bram rata-rata Rp75 juta per bulan," ujar Dudi sambil
tersenyum.
Selain dari Bram, Dudi juga
memperoleh pasokan tepung daun kelor dari para pekebun di NTT.
"Mereka sudah punya unit pengolahan
sendiri sehingga bisa menjual dalam bentuk
tepung," tambahnya.
Dudi tak menyangka kelor kini menjadi penyangga ekonomi keluarga. "Dulu tidak pernah terpikir untuk berbisnis kelor," ujar produsen olahan kelor bermerek Kelorina itu.
Saat Ir. Erna Witoelar menjabat sebagai Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah
dan Siswono Yudohusodo menjabat sebagai
ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), ia pernah diingatkan bahwa kita harus
mengembangkan tanaman pangan tak hanya
sekadar untuk mencapai target ketahanan pangan, tapi lupa memperhatikan kandungan nutrisinya.
"Oleh sebab itu wajar jika beberapa wilayah di Indonesia masih banyak yang
penduduknya mengalami malnutrisi alias
kekurangan gizi," jelas Dudi yang ketika itu aktif sebagai Ketua HKTI Kabupaten Ciamis dan aktif juga di HKTI
Pusat.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Indonesia juga masih
"berutang" dalam memenuhi deklarasi Millenium Development Goals (MDGs), yakni kesepakatan kepala negara
dan perwakilan dari 189 negara anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan masyarakat.
Kesepakatan itu berisi 8
tujuan pembangunan, salah satunya tentang menanggulangi kemiskinan
dan kelaparan. Kesepatakan itu mulai
dijalankan pada September 2000 sampai
dengan 2015.
Untuk menjalankan kesepakatan itu, pemerintah berupaya
memenuhi angka kecukupan gizi, terutama
di NTT yang 56% warganya malnutrisi. Pada 2011
pemerintah menginstruksikan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meningkatkan gizi masyarakat NTT.
"Sejak itu saya mencari
informasi komoditas yang dapat dikembangkan di sana," ujar pria
yang juga aktif sebagai pemerhati
masyarakat sekitar hutan itu.
Dudi pun berselancar di dunia maya. Dalam pencarian itu ia
menemukan situs WHO yang mengunggah foto
tentang tanaman misteri dan mengajak
pengunjung situs untuk menebak nama tanaman itu.
Dalam tebakan itu WHO
memberikan petunjuk jika tanaman itu mampu menyelamatkan jutaan
rakyat di beberapa negara di Benua
Afrika dari kekurangan gizi.
Ternyata nama tanaman
itu adalah Moringa olifiera. "Saya pun penasaran dan mencari tahu apakah tanaman tersebut tumbuh
di Indonesia atau tidak," tutur
pria kelahiran Pangandaran, Jawa Barat, itu. Ia terkejut ternyata tanaman itu adalah kelor yang selama ini kerap
digunakan untuk memandikan orang yang
sudah meninggal.
Sejak itu Dudi pun "berburu" tanaman kelor untuk
ia konsumsi sendiri. "Saat itu saya
hanya mengonsumsi kelor selama 6 bulan untuk memastikan aman apa tidak mengonsumsi kelor sebelum
mengajak orang lain," ujar pria
yang juga gemar menulis itu. Ia mengolah daun tanaman anggota
famili Moringaceae itu menjadi sayur dan
teh.
"Ternyata aman dan tubuh saya menjadi lebih bugar," tambahnya. Sejak
itu ia pun gencar melakukan sosialisasi
tentang manfaat kelor di beberapa daerah. Salah satunya di Madura, Jawa Timur, yang warganya terbiasa
mengonsumsi moringa.
Dudi juga menyampaikan idenya mengembangkan kelor untuk
mengatasi malnutrisi di NTT kepada TNI.
Ide itu mendapat sambutan baik dari TNI.
Mereka lalu meminta Dudi untuk mendampingi TNI mengembangkan
kelor di NTT. Dudi memanfaatkan
lahan-lahan terlantar di sana untuk ditanami
tanaman berjuluk drum stick itu.
Awalnya masyarakat menanam
kelor untuk konsumsi sendiri. Namun, makin lama populasi kelor di
sana terus bertambah. "Apalagi
ketika itu Bank Rakyat Indonesia (BRI)
memberikan bantuan bibit kelor senilai Rp1,3 miliar," ujarnya.
Akibatnya, jumlah
produksi menjadi berlebih. Untuk mengatasinya, Dudi akhirnya menemukan ide untuk mengeringkan
daun kelor dan mengolahnya menjadi
tepung.
Dudi terus melakukan uji coba sampai akhirnya menemukan
metode yang tepat untuk mengeringkan
daun kelor tanpa merusak kandungan nutrisinya.
Caranya dengan pengeringan lambat, yakni dengan suhu maksimal 35oC.
Metode itu terbukti mampu mempertahankan kandungan nutrisi.
Berdasarkan hasil uji laboratorium,
kandungan asam amino pada tepung kelor produksi
Dudi masih lengkap, yakni mencapai 18 jenis asam amino. Dudi juga melakukan uji coba memproduksi aneka olahan
daun kelor.
Sayangnya lokasi produksi di NTT yang jauh menjadi kendala
bagi Dudi untuk memasarkan olahan daun
kelor. Itulah sebabnya Dudi akhirnya
memutuskan untuk memproduksi olahan kelor di Blora.
Di sana ia
bekerjasama dengan Bram membudidayakan kelor di lahan 3 hektare
secara organik. Untuk mengembangkan
usaha, Dudi yang juga nasabah Bank Rakyat
Indonesia (BRI), memanfaatkan fasilitas pinjaman melalui program
Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebanyak Rp200
juta. Pinjaman itu ia gunakan untuk
membangun sarana pengolahan dan pengemasan.
Pada 2014 Dudi mengikuti konferensi moringa internasional
di Filipina. "Dalam acara itu para
peserta lain masih membicarakan tentang
cara budidaya kelor yang benar. Saya datang sudah membawa cokelat kelor," katanya. Ia pun banjir
sanjungan. Sejak itu permintaan tepung
daun kelor dari berbagai negara deras mengalir.
Dudi juga kebanjiran
tamu dari berbagai negara, seperti Arab Saudi, Norwegia, dan negara-negara dari Benua Afrika.
Salah satunya David hingga akhirnya berlanjut bekerja sama. Banyaknya tamu yang
berkunjung mendorong Dudi untuk
membangun Pusat Pembelajaran Moringa Organik Indonesia.
Dari Blora kelor
tembus pasar mancanegara. (Imam Wiguna)
Sumber: kompasiana